Tugas Mata Kuliah Perencanaan Kota I
Disusun Oleh :
DIMAS HANDOKO
0521 10 011
Program
Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota
Fakultas
Teknik Universitas Pakuan
Bogor,
2012
Benarkah pertumbuhan rumah toko (ruko) yang menjamur di
kawasan Kota Bandar Lampung sebagai pertanda bahwa perdagangan dan jasa telah
menjadi identitas? Pengembangan sentra ekonomi tak terlepas konteksnya khusus
kepada layanan urban.
Dari masalah tersebut, kita menangkap maksud yang cukup
strategis, terutama dalam pengembangan Bandar Lampung, yaitu pentingnya
pengembangan sentra-sentra layanan urban justru merebak di jalur-jalur protokol
kota kemudian mendorong pengembangan perekonomian masyarakat.
Jika dilihat dari sudut perkembangan perkotaan (baca: Bandar
Lampung) mengalami suatu kemajuan yang cukup signifikan, terutama dengan
munculnya sentra-sentra layanan urban tersebut. Terlepas dari proses
adaptasinya, perkembangan perkotaan merupakan realitas yang amat strategis
dalam kerangka perkembangan perkotaan--yang diharapkan memunculkan
sentra-sentra layanan urban dengan tetap mengedepankan potensi lokal--terutama
dalam kerangka merangsang tumbuhnya sentra-sentra industri baru dari berbagai
potensi lokal yang dimiliki; bukan sebaliknya mengabaikan potensi lokal
sehingga akan melahirkan problematika pengangguran dan kantong-kantong
kemiskinan baru.
Berdasarkan asumsi tersebut, melalui tulisan ini akan
diketengahkan telaah berkaitan masalah bagaimana pembangunan perkotaan yang
bertitik tolak dari pengembangan sentra-sentra layanan urban dengan suatu
strategi perencanaan yang berbasis lokal kultur melalui pengembangan
partisipasi masyarakat lokal?
Selanjutnya, perlu diuraikan pokok masalah yang dihadapi masyarakat
perkotaan, guna menjadi referensi dalam upaya mengembangkan konsep perencanaan
strategis yang berbasis lokal kultur, melalui pengembangan partisipasi
masyarakat lokal.
Urbanisasi
Kota Bandar Lampung merupakan satu-satunya wilayah di
Lampung yang seluruhnya merupakan daerah perkotaan. Gambaran umum tentang kota
suatu realitas di mana sebagian besar penghuninya mempunyai tingkat penghidupan
di bawah standar. Hal ini bila mengacu pada survei PBB terhadap 53 kota besar
di dunia yang menunjukkan lebih dari separo penduduk (54%) tinggal di
rumah-rumah kumuh.
Tingkat urbanisasi di Indonesia telah mencapai 34,30%
berdasarkan Susenas 1990. Lembaga Demografi UI Jakarta (1994) memproyeksikan
tingkat urbanisasi tersebut akan mengalami kenaikan hingga mencapai 41,80% pada
tahun 2000 dan 46% (102,5 juta jiwa) pada 2005. Untuk angka perkembangan
Urbanisaasi pada Kota Bandar Lampung dalam 5 tahun terakhir yaitu 6799 jiwa
(2007), 7653 jiwa (2008), 8991 jiwa (2009), 10122 jiwa (2010) dan 11232 jiwa
(2011) yang berjumlah 44797 jiwa dan dapat di lihat pada diagram dan grafik
dibawah.
Sumber
: BPS Kota Bandar Lampung Dalam Angka
Angka-angka tersebut menjadi landasan mengasumsikan bahwa
tingkat kehidupan di bawah standar maupun tingkat urbanisasi yang relatif
tinggi setiap tahunnya terjadi di berbagai kota di Indonesia, termasuk Kota
Bandar Lampung. Di mana fenomena tersebut dapat dipastikan akan berimplikasi
timbulnya berbagai masalah di perkotaan.
Saat ini kota-kota di negara berkembang (termasuk Indonesia)
tengah bergulat mengatasi kemiskinan di antara berbagai praktek penumpukan
kekayaan di kota. Kota-kota juga berjuang mereformasi permukiman kumuh, persis
di mana segala macam bentuk kemewahan ditawarkan: Kesehatan, pendidikan,
transportasi, dan komunikasi. Tapi di kota pula, berbagai penyakit sosial
justru menggambarkan beragam masalah: kepadatan penduduk, alienasi (keterasingan),
kriminalitas, keresahan sosial, pencemaran, dan lain sebagainya.
Urbanisasi terjadi bukan karena meningkatnya permintaan
tenaga kerja sektor industri di perkotaan terhadap tenaga kerja pertanian di
perdesaan. Namun, karena tekanan hidup yang di desa memaksa penduduk bermigrasi
ke kota.
Dengan kata lain, proses urbanisasi tidak melewati fase
industri, tapi langsung menuju sektor informal. Urbanisasi jenis ini
menimbulkan berbagai masalah kota yang sangat rumit. Misal, bagaimana
menghentikan laju urbanisasi, dan dengan cara bagaimana mesti dilakukan?
Ironisnya, semakin banyak digulirkan berbagai kebijakan,
justru sebanyak itu pula urbanisasi, pengangguran, dan krisis perkotaan melaju.
Sering kali kebijakan yang diambil justeru merugikan.
Kaum urban pinggiran adalah komunitas yang aspirasi politik
dan hak hidupnya terdesak oleh rangkaian represi modal dan pilihan kebijakan
yang tidak memihak kepadanya. Dengan demikian, masalah urbanisasi, pengangguran
dan krisis perkotaan, terlampau naif jika hanya diselesaikan dengan pendekatan
ekonomi belaka.
Seiring dengan era transisi demokrasi yang tengah bergulir
di dalam kehidupan sosial politik, gejala kebangkitan local kultur dengan titik
tolak pengembangan partisipasi masyarakat lokal tumbuh sebagai respons positif
atas perubahan sosial yang sedang terjadi.
Realitas ini sekaligus menjadi alat koreksi atas strategi
pembangunan yang selama ini dirasa tidak memberikan ruang terhadap tumbuhnya
partisipasi masyarakat lokal tersebut.
Dalam konteks perkembangan kota, perlu dilakukan perencanaan
ulang terhadap kebijakan perkotaan dengan melibatkan berbagai potensi
masyarakat lokal secara partisipatif. Sebagaimana diterangkan di atas, bahwa
masalah yang paling rumit di perkotaan adalah tingginya laju urbanisasi,
pengangguran dan krisis perkotaan dengan berbagai bentuk masalah lainnya yang
tak kunjung teratasi.
Di mana problematika itu justru tumbuh akibat dari kebijakan
pembangunan yang lebih bersifat elitis, melalui represi modal maupun kebijakan
yang tidak memihak sektor masyarakat lokal.
Pengembangan sentra-sentra layanan urban dengan
menitikberatkan pada strategi pembangunan perkotaan yang melibatkan partisipasi
masyarakat lokal, diharapkan mampu mengatasi sekaligus mengantisipasi laju
urbanisasi yang tidak terkendali, juga mengatasi ledakan pengangguran maupun
krisis perkotaan yang memunculkan kantong-kantong kemiskinan baru.
Strategi ini mengisyaratkan berbagai potensi lokal yang
dimiliki masyarakat mesti diposisikan sebagai basis pengembangan perkotaan.
Ruang-ruang bagi tumbuhnya sentra industri masyarakat lokal (home industry dan
industri kecil menengah) harus dibuka melalui regulasi perkotaan yang secara
strategis berpihak pada sektor-sektor lokal.
Strategi ini sekaligus akan menyambung mata rantai
urbanisasi yang terputus selama ini, sehingga proses urbanisasi tumbuh melalui
perkembangan sektor industri, bukan langsung ke sektor informal.
Selain itu, regulasi pengembangan perkotaan harus pula
memperhatikan aspek-aspek ekologis dan berbagai potensi lokal perdesaan. Tidak
semua area strategis bagi pengembangan sektor agrarian diambil alih untuk dan
atas nama pengembangan wilayah perkotaan. Pada aspek lain penting pula
dipikirkan identitas yang khas sebagai brand image suatu wilayah perkotaan, hal
ini sangat terkait dengan upaya pengembangan kota wisata di masa mendatang
Solusi
yang tercipta untuk menghadapi tingkat perkembangan ubanisasi yang terjadi di
Kota Bandar Lampung yaitu, walaupun urbanisasi menjadi sebuah perkembangan Kota
di Bandar Lampung Provinsi Lampung harus tetap dalam control, karena jika angka
urbanisasi setiap tahunnya meningkat maka dengan otomatis lahan yang tersedia
untuk tempat tinggal penduduk yang berpindah ke Kota Bandar Lampung akan
semakin menyempit.
SUMBER
Tidak ada komentar:
Posting Komentar